1. Sejarah Bahasa Indonesia Sebelum Kemerdekaan
Bahasa melayu adalah bahasa kebangsaan Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Bahasa berkedudukan sebagai bahasa kebangsaan dan bahasa resmi negara Republik Indonesia merupakan sebuah dialek bahasa Melayu, yang pokoknya dari bahasa Melatu Riau (bahasa Melayu di Provinsi Riau, Sumatra, Indonesia). Nama Melayu mula-mula sekali digunakan sebagai nama kerajaan tua di daerah Jambi di tepi Sungai Batanghari, yang pada pertengahan abad ke-7 ditaklukkan oleh kerajaan Sriwijaya. Selama empat abad kerajaan ini berkuasa di daerah Sumatra Selatan bagian timur dan di bawah pemerintahan raja-raja Syailendra bukan saja menjadi pusat politik di Asia Tenggara, melainkan juga menjadi pusat ilmu pengetahuan.
Berdasarkan beberapa prasasti yang ditemukan, yaitu Kedukan Bukit (683), Talang Tuwo (684), Telaga Batu (tidak berangka tahun), Kota Kapur, Bangka (686), dan karang Brahi (686) membuktikan bahwa Kerajaan Sriwijaya menggunakan bahasa Melayu, yaitu yang biasa disebut bahasa Melayu Kuno, sebagai bahasa resmi dalam pemerintahannya. Dengan kata lain, prasasti-prasasti itu menunjukkan bahwa pada abad ke-7 bahasa Melayu telah digunakan sebagai bahasa resmi di daerah kekuasaan Sriwijaya yang bukan hanya di Sumatra, melainkan juga di Jawa dengan ditemukannya prasasti Gandasuli di Jawa Tengah (832) dan di dekat Bogor (942). Di samping sebagai bahasa resmi pemerintahan, bahasa Melayu juga sudah digunakan sebagai bahasa kebudayaan, yaitu bahasa pengantar dalam mempelajari ilmu agama dan bahasa perdagangan.
Pada awal abad ke-15 kerajaan Malaka di Semenanjung berkembang dengan sangat cepat menjadi pusat perdagangan dan pusat pertemuan para pedagang dari Indonesia, Tiongkok, dan Gujarat. Para pedagang yang dari Jawa pada waktu itu dikuasai oleh Majapahit membawa rempah-rempah, cengkih, dan pala dari Indonesia Timur ke Malaka. Hasil bumi di Sumatra yang berupa kapur barus, lada, kayu cendana, dan yang lainnya dibawa ke Malaka oleh para pedagang Sumatra. Di Malaka mereka membeli barang-barang dagangan dari tiongkok dan Gujarat berupa sutera dari India, kain pelikat dari koromandel, minyak wangi dari Persia, kain dari Arab, kain sutera dari Cina, kain bersulam emas dari Tingkok, kain satin, kipas dari Tiongkok, dan barang-barang perhiasan lainnya.
Letak kota pelabuhan Malaka sangat menguntungkan bagi lalulintas dagang melalui laut abad ke-14 dan 15. Semua kapal dari Tiongkok dan Indonesia yang akan berlayar ke barat melalui Selat malaka. Demikian pula semua kapal dari negara-negara yang terletak di sebelah barat Malaka apabila berlayar ke Tiongkok atau ke Indonesia juga melalui Selat Malaka, sebab pada saat itu, Malaka adalah satu-satunya kota pelabuhan di Selat Malaka. Oleh karena itu, Malaka menguasai perdangangan anatara negara-negara yang terletak di daerah utara, barat, dan timurnya.
Perkembangan Malaka yang sangat cepat berdampak positif terhadap bahasa Melayu. Sejalan dengan lalu lintas perdagangan, bahasa Melayu yang digunakan sebagai bahasa perdangan dan juga penyiaran agama islam dengan cepat tersebar ke seluruh Indonesia, dari Sumatra sampai ke kawasan timur Indonesia.
Perkembangan Malaka sangat cepat, tetapi hanya sebentar, karena pada tahun 1511 Malaka ditaklukkan oleh angkatan laut Portugis dan pada tahun 1641 ditaklukkan pula oleh Belanda. Dengan kata lain, Belanda telah menguasai hampir seluruh Nusantara.
Masalah yang segera dihadapi oleh Belanda adalah masalah bahasa pengantar. Tidak ada pilihan lain kecuali bahasa Melayu yang dapat digunakan sebagai bahasa pengantar, karena pada saat itu bahasa melayu secara luas sudah digunakan sebagai Ligua franca di seluruh Nusantara. Pada tahun 1521 Pigafetta yang mengikuti pelayaran Magelhaens mengelilingi dunia, ketika kapalnya berlabuh di Tidore, menuliskan kata-kata Melayu. Hal ini membuktikan bahwa bahasa Melayu yang berasal dari Indonesia sebelah barat itu telah tersebar luas sampai ke daerah Indonesia sebelah timur.
Dari hari ke hari kedudukan bahasa Melayu sebagai ligua Franca semakin kuat, terutama dengan tumbuhnya rasa persatuan dan kebangsaan dikalangan pemuda pada awal abad ke-20 sekalipun mendapat rintangandari pemerintah dan segolongan orang Belanda yang berusah keras menghalangi perkembangan bahasa Melayu dan berusaha menjadikan bahasa Belanda sebagai bahasa nasional di Indonesia. para pemuda yang tergabung dalam berbagai organisasi berusaha mempersatukan rakyat. Mereka sadar bahwa hanya dengan persatuan seluruh rakyat, bangsa Indonesia dapat menghalau kekuasaan kaum penjajah dari bumi Indonesia dan meraka sadar juga hanya dengan bahasa Melayu mereka dapat berkomunikasi dengan rakyat. Usaha mereka mempersatukan rakyat, terutama para pemudanya memuncak pada Kongres Pemuda di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 1928. Dalam kongres itu pada pemuda dari berbagai organisasi pemuda mengucapkan ikrar mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia; mengaku bertanah air satu, tanah air Indonesia; dan menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Demikianlah, tanggal 28 Oktober merupakan hari yang amat penting, merupakan hari pengangkatan atau penobatan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, atau dengan kata lain sebagai bahasa nasional.
Pengakuan dan pernyataan yang diikrarkan pada tanggal 28 Oktober 1928 itu tidak ada artinya tanpa diikuti usaha untuk mengembangkan bahasa Indonesia, meningkatkan kemampuan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Sebagai realisasi usaha itu, pada tahun 1939 para cendikiawan dan budayawan Indonesia menyelenggarakan suatu kongres, yaitu Kongres Bahasa Indonesia I di Solo, Jawa Tengah. Dalam kongres Ki Hajar Dewantara menegaskan bahwa "Jang dinamakan 'Bahasa indonesia' jaitoe bahasa Melajoe jang soenggoehpoen pokoknja barasal dari 'Melajoe Riaoe', akan tetapi yang soedah ditambah, dioebah ataoe dikoerangi menoeroet keperloean zaman dan alam baharoe hingga bahasa itoe laloe moedah dipakai oleh rakjat di seloeroeh Indonesia;...". Oleh karena itu, kongres pertama ini memutuskan bahwa buku-buku tata bahasa yang sudah ada tidak memuaskan lagi, tidak sesuai dengan perkembangan bahasa Indonesia sehingga perlu disusun tata bahasa baru yang sesuai dengan perkembangan bahasa.
Hingga berakhirnya kekuasaan Belanda di Indonesia pada tahun 1942 tak satu keputusan pun yang telah dilaksanakan karena pemerintah Belanda tidak merasa perlu melaksanakan keputusan-keputusan itu. Barulah pada masa pendudukan Jepang Bahasa Indonesia memperoleh kesempatan berkembang karena pemerintah Jepang seperti halnya pemerintah penjajah yang lain sesungguhnya bercita-cita menjadikan bahasa Jepang menjadi bahasa resmi di Indonesia terpaksa menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pemerintahan dan sebagai pengantar di sekolah-sekolah. Perkembangan berjalan dengan sangat cepat sehingga pada waktu kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, bahasa Indonesia telah siap menerima kedudukan sebagai bahasa negara, seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, Bab XV, Pasal 36.
2. Bahasa Indonesia Sesudah Kemerdekaan
Setelah Proklamasi Kemerdekaan pada tahun 1945, bahasa Indonesia semakin mantap kedudukannya. Perkembangannya juga cukup pesat. Sehari sesudah proklamasi kemerdekaan, pada tanggal 18 Agustus ditetapkan Undang-Undang Dasar 1945 yang di dalamnya terdapat pasal, yaitu pasal 36, yang menyatakan bahwa "Bahasa negara ialah Bahasa Indonesia." Dengan demikian, di samping berkedudukan sebagai bahasa negara. Bahasa Indonesia dipakai dalam semua urusan yang berkaitan dengan pemerintahan dan negara.
Sesudah kemerdekaan, bahasa Indonesia mengalami perkembangan yang pesat. Setiap tahun jumlah pemakai bahasa Indonesia bertambah. Kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara juga semakin kuat. Perhatian terhadap bahasa Indonesia baik di pemerintah maupun masyarakat sangat besar. Pemerintah Orde Lama dan Orde Baru menaruh perhatian yang sangat besar terhadap perkembangan bahasa Indonesia di antaranya melalui pembentukan lembaga yang mengurus masalah kebahasaan yang sekarang menjadi Pusat Bahasa dan penyelenggaran Kongres Bahasa Indonesia. Perubahan ejaan bahasa Indonesia dari Ejaan Van ophuijsen ke Ejaan Soewandi hingga Ejaan yang disempurnakan selalu mendapat tanggapan dari masyarakat.
Dalam era globalisasi sekarang ini, bahasa Indonesia mendapat saingan berat dari bahasa Inggris. Semakin banyak orang Indonesia yang belajar dan menguasai bahasa Inggris, yang tentu saja merupakan hal yang positif dalam rangka pengembangan ilmu dan teknologi. Akan tetapi, ada gejala semakin mengecilnya perhatian orang terhadap bahasa Indonesia. Tampaknya orang lebih bangga memakai bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia yang dipakai juga banyak dicampur dengan bahasa Inggris. Kekurangpedulian terhadap bahasa Indonesia ini akan menjadi tantangan yang berat dalam pengembangan bahasa Indonesia.
Pada awal tahun 2004, Dewan Bahasa dan Pustaka (Malaysia) dan Majelis Bahasa Brunei Darussalam-Indonesia- Malaysia (MABBIM) mencanangkan Bahasa Melayu dijadikan sebagai bahasa resmi ASEAN dengan memandang lebih separo jumlah penduduk ASEAN mampu bertutur dalam bahasa Melayu. Walau bagaimanapun, perkara ini masih dalam perbincangan.
Melalui perjalanan sejarah yang panjang, bahasa Indonesia telah mencapai perkembangan yang luar biasa, baik dari segi jumlah penggunanya, maupun dari segi sistem tata bahasa dan kosakata serta maknanya. Sekarang bahasa Indonesia telah menjadi bahasa besar yang digunakan dan dipelajari tidak hanya diseluruh Indonesia tetapi juga di banyak. Bahkan keberhasilan Indonesia dalam mengajarkan bahasa Indonesia kepada generasi muda telah dicatat sebagai prestasi dari segi peningkatan komunikasi antar warga negara Indonesia.
sumber: Badan Pengembangan Bahasa dan Sastra Indonesia. 2009.FBS.UNM. Makassar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar