WAGE RUDOLF SUPRATMAN
Wage Rudolf Supratman, seorang pemuda yang dilahirkan di desa Somogiri, Purworejo Jawa Tengah, pada tanggal 9 Maret 1903. Orangtuanya, seorang kopral tentara Belanda yang bernama Kartodikromo. Beliau merupakan anak ke-4 dari keluarga Kartodikromo dengan Siti Senen. Waktu lahir, beliau diberi nama "Wage", yang diambilkan dari hari pasaran kelahirannya. Nama itu kemudian dilengkapi dengan "Supratman". karena kakak-kakaknya, yang semuanya perempuan, bernama Supraptiyah, Supraptina, dan Supratiyem. Sedangkan nama "Rudolf" diperoleh sesudah beliau ikut pementasan sebuah drama atau sandiwara di Makassar (Ujung Pandang), sewaktu mengikuti kakaknya yang tinggal di sana, dengan memerankan sebagai "Rudolf" dengan sangat baiknya. Sejak peristiwa itulah beliau dijuluki oleh teman-temannya sebagia "Rudolf" dan kemudian namanya berubah menjadi "Wage Rudolf Supratman".
Nama Wage Rudolf Supratman, sudah tidak asing lagi bagi kita, bangsa Indonesia. Baik orang tua, remaja, maupun anak-anak pasti mengenalnya dengan baik. Beliau seorang pahlawan bangsa yang tidak sedikit andilnya dalam memperjuangkan kebebasan negara kita dari cengraman penjajah. Senjata ampuhnya yang berupa seni/lagu telah berhasil membakar semangat perjuangan bangsa Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan negara.
Wage Rudolf Supratman seorang pemuda yang berjiwa seni. Beliau senang bermain musik dan pandai menciptakan lagu. Dengan keahliannya menggesek biola, beliau telah berhasil menciptakan banyak lagu yang bernafaskan rasa cinta tanah air atau lagu patriotisme. Salah satu hasil ciptaannya, yang berhasil mengobarkan semangat perjuangan bangsa dan sampai sekarang menjadi lagu kebanggaan dan lagu kebangsaan negara kita, ialah lagu "Indonesia Raya". Dengan lagu itu Wage Rudolf Supratman pernah menggoncang Kongres Pemuda I, yang diselenggarakan di gedung Indonesisch Clubhuis, Kramat 106 Batavia (Jakarta).
Pada Kongres Pemuda I, 28 Oktober 1928, telah terjadi dua kali insiden yang membuat marah pemerintah Belanda. Insiden pertama adalah adanya peserta yang menggunakan kata "kemerdekaan" dalam berbicara. Akibatnya wakil Belanda mengancam akan mengambil tindakan dan mengawasi jalannya kongres dengan ketet. Sedang insiden kedua, yaitu tatkala istirahat, W.R. Supratman meminta izin kepada ketua persidangan, Sugondo, akan membawakan lagu Indonesia Raya hasil ciptaanya. Sugondo lalu meminta teks lagu itu dan mempelajarinya. Ia menjadi khawatil akan terjadi hal-hal yang membahayakan karena dalam lagu itu banyak menggunakan perkataan Indonesia. Ia merenung sambil merilik keapada komisaris Belanda yang bertugas mengawasi jalannya sidang. Muncullah gagasan yang penuh kebijaksanaan yaitu minta agar lagu itu tidak dinyanyikan melainkan dimainkan dengan instrumentalia dengan gesekan biola. Permintaan itu dengan senang hati oleh W.R. Supratman menerimanya.
Dengan penuh khidmat lagu Indonesia Raya pun dikumandangkan olek W.R. Supratman dalam bentuk gesekan biola. Para peserta kongres menjadi terpaku dan terpesona oleh alunan lagu yang menyayat dan menggugah tekad batinnya. Suasanapun menjadi sangat hening. Ketika Wage Rudolf Supratman selesai membawakan lagu yang penuh semangat itu, tepuk tangan pun gemuruh seakan merobohkan gedung di jalan Kramat jakarta itu. Hadirin serentak berdiri, menghormati dan menyatakan kekagumannya sambil bertepuk tangan yang tak henti-hentinya. Itulah untuk pertama kali lagu kebangsaan kita, lagu Indonesia Raya, berkumandang di udara.
Jiwa patriotisme W.R. Supratman membuat dedikasi dan idealismenya tetap tinggi dan menyala. Banyak pekerjaan yang oernah ditekuninya. Pernah menjadi guru, lalu juru tulis dibeberapa kantor swasta, karyawan di kantor pengacara, dan wartawan. Perkenalannya dengan advokat Schulten seorang simpatisan nasional Indische partij, membuat semakin berkembang kesadaran nasionalnya. Karena antusiasnya dalam meningkatkan dedikasinya, kesehatannya pun tidak dipikirkannya sehinggga sakit-sakitan. Namun demikian tetap saja menciptakan musik lagu, dan artikeal yang penuh rasa nasionalisme. Pada tanggal 17 Agustus 1938, Wage Rudolf supratman meninggal dunia. Semangat patriotismenya tetap berkumandang di tanah air, lebih-lebih di dada warga Purwerejo. Untuk mencerminkan rasa hormat dan rasa bangga yang mendalam, Pemda Kabupaten Purwerejo telah mendirikan sebuah monumen yang berupa patung Wage Rudolf Supratman dengan biola ditangan kirinya yang berdiri tegak dengan gagahnya. Monumen itu diresmikan pada tanggal 17 Agustus 1983.
sumber: Muryati, S.dkk. 1991. Bahasa Indonesia Bahasa Nasional Kita. Semarang:Aneka Ilmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar