Selasa, 21 Juni 2016

CERPEN: GADIS BEKASI

GADIS BEKASI

  Berjam-jam ia duduk di serambi muka stasiun tanpa menghiraukan orang yang hiruk pikuk di sekelilingnya. Tukang jaga sudah tak kuasa melarang dia, karena larangannya tak pernah diindahkannya. Adakalanya ia menurut kalau diancam akan dipukul, tapi kalau tukang jaga sudah tak ada, pergi menjaga bagian lain, ia pun duduk kembali di tempatnya semula. Duduk seolah-olah tak akan bangkit selama-lamanya.
Akhirnya, ia pun dibiarkan orang, dibiarkan berbuat sekehendak hatinya asalkan tidak mengganggu ketertiban umum. Tukang jaga yang biasanya "keras" sekarang tak bengis lagi, bahkan ada kalanya suka beramah-ramah, rupanya kini ia insyaf bahwa orang yang demikian hanya perlu dikasihani.

  Warsiah memang tak menjadi gangguan dalam pekerjaannya, ia duduk-duduk dan melihat-lihat. Entah apa yang menambatkan hatinya untuk duduk barjam-jam ditempat itu. Dan duduknya itu kadang-kadang dengan muka yang bersinar seri, kadang-kadang dengan pandangan yang muram, sering pula hanya duduk tercenung seperti patung tidak bergerak barang sejenak, tapi adakalanya setiap gerak diminatinya. Orang-orang yang turun dipandanginya sejak mulai bergerak hingga berjalan pelahan-lahan sampai jauh tiada lepas-lepasnya. Entah apa pula yang menarik perhatian pada benda yang melancar lepas di atas sepanjang jalan besi menuju ke arah tujuannya itu.
  Berjam-jam ia duduk mulai siang hingga rembang dan hingga terik matahari barulah ia merasa jemu dan pergi pindah ke tempat lain. Di sana ia duduk di bawah pohon yang hitam angus, katanya berteduh, rupanya dalam pandangan angan-angan Warsiah pohon itu masih berdaun rimbun juga. Berjam-jam ia duduk di sana. Panas matahari yang membakar sepanjang waktu siang dan dengan angin malam yang berhembus semenjak matahari terbenam tidak menjadi rintangan
Tidak jauh dari tempat duduk Warsiah, tampak tumpukan batu merah bekas runtuhan rumah batu  dan disampingnya agak ke belakang sedikit berserak-serak timbunan abu hitam, di sana konon kabarnya ada bekas robohan rumah Warsiah.
  Rumah Warsiah berserta orang tuanya, rumah tempat ia dilahirkan dan dibesarkan, tempat menerima suka dan duka, kini rumah itu sudah lenyap, tinggal timbunan abu yang kian lenyap dimakan tanah. Rumahnya itu bukan terbakar karena kecelakaan tetapi sengaja dibakar dan dimusnahkan oleh tangan manusia.
  Dalam berkata-kata menyendiri, Ya Warsiah kurang ingatan. Peristiwa yang semula menjadi bahan ejekan lambat laun berubah menjadi sumber kasihan bagi siapa saja yang melihatnya. Sering terhambur dari mulutnya kata-kata hitam, kejam, bengis, ganas, perkataan yang tiada tentu ujung pangkalnya. Pada saat yang demikian itu tampak benar kemarahannaya, matanya merah berkilat-kilat, lakunya senantiasa merentak-rentak, merentang ke sana, mencekam ke mari, dan bila sudah jemu dengan kelakuannya ia lari ke tempat bekas rumahnya kemudian duduk bersimpuh dan menangis sedih dengan ratapan dari hari ke hari.
  Dalam keadaan seperti itu, tubuhnya yang mula-mula tegap berisi, kini tinggal tulang berbalut kulit hitam dan kering serta berbau anyir. Warsiah sudah menjadi kerangka hidup.
Suatu hari orang-orang sibuk lagi seperti dahulu ketika akan ada pembakaran kampung. Semua akan meninggalkan kampung tempat kediamannya, tapi Warsiah tidak menghiraukananya. Saat itu seluruh kampung sudah kosong, kiranya masih ada sesosok tubuh manusia tinggal terpencil, seorang diri dan bertulang sebatang kara.
  Kali ini Warsiah tidak duduk di tempat biasanya karena stasiunnya sepi. Ia gelisah dan merenung kesepian. Sebentar ia lari ke jalan, sebentar ia duduk di bawah pohon, kemudian kembali ke jalan kereta dan tiba-tiba... letusan-letusan bertubi-tubi menggetarkan bumi. Warsiah terperanjat hanya sebentar, lalu biasa lagi seolah-olah tiada mendengar apa-apa. Dentuman serentar menderam pula lebih dahsyat, lebih banyak menggeletar meliputi seluruh kampung. Pertempuran sudah dimulai, Bekasi tempat Warsiah telah menjadi medan perjuangan bangsanya mempertahankan kemerdekaan tanah airnya. tapi Warsiah tidak menghiraukan, ia berjalan di bawah desingan peluru mondar-mandirdi atas rel.
  Tiba-tiba ia tertegun, matanya melihat ke arah timur tempat jeritan datang, kemudian lari menuju jalan rel sambil mulutnya komat-kamit. Seperti biasa dari mulutnya keluar perkataan yang tiada ujung pangkalnya. Ketika ia sampai di jalan pertempuran antara jalan kereta dan jalan raya ia berhenti sebentar seolah-olah berpikir, kemudian membelok ke jalan raya, ia melihat benda bergerak berderet memanjang jalan, tetapi sebelum ia tahu benar mengenai apa yang dilihatnya itu sebuah peluruh menyongsong tepat menembus tulang dadanya. Sebentar meronta, mengerang, menyumpah, terhambur kata sumpah serapah dari perkataannya: Si bengis lagi, si ganas lagi, rupanya ia bergulat melawan untuk mempertahankan hidupnya dengan sakaratus maut. Wasiah merentang ke sana kemari kemudian ia lemas tak berdaya. warsiah meninggal tiada dihiraukan orang, tiada yang meratapi. Ia meninggal tidak sebagai pahlawan tapi sebagai korban kekuasaan, salah satu korban dari sekian banyaknya. Ia meninggal karena nasibnya, demikian menurut suratan, ia meninggal kehendak Ilahi.
  Ayah Warsiah meninggal karena romusha, demikian pula Masri kekasihnya direnggutnya dari tangannya pula. Semua itu adalah ulah manusia, semuanya itu bukan kehendak Tuhan, yang paling nyata rumahnya itu telah dimusnahkan segolongan bangsa-bangsa manusia bukan malaikat dari langit suruhan Tuhan.
  Warsiah adalah seorang ganis tani tang saelalu dalam kekurangan. Ayahnya meninggal di Merak dalam pekerjaan romusha ciptaan Jepang. ibunya sudah berpulang sesudah tersudah terjadi pembakaran kampung, karena penyakit tua dan karena putus asa. Warsiah pernah menjadi pujaan hati Masri, nama teman sekampung. Ia bercita-cita tinggi, ia berkata dihadapan kekasihnya bahwa ia tidak akan menikah kalau Indonesia belum merdeka. Karena itu, Ketika warsiah pertama kali melihat bendera Sang Merah Putih di atas stasiun, ia berlari mendapatkan Masri yang sedang mencangkul di kebun. Keduanya memalingkan pandangannya ke arah bendera yang sedang berkibar megah dan keluarlah kata-kata dari mulutnya "Kita merdeka!"
  Antara Masri dan Warsiah tidak menyangka bahwa pertemuan saat itu adalah pertemuan yang terakhir. Karena sesudah itu Masri perg i ke Cikampek mencukupkan latihan keprajuritan. Sebelum mereka dapat berjumpa kembali., seminggu sebelum terjadi pembakaran kampung, Masri hilang tak tentu rimbanya. Warsiah ditimpa duka nestapa, dan untuk pertama kalinya ia mengalirkan air mata dan di masa itulah, rumah dan harta bendanya habis musnah dibakar api.
  Peristiwa pembakaran kampung untuk Warsiah adalah barang baru, yang belum pernah dialaminya. Warsiah tak pernah tahu politik, tak kenal siasat, yang ia tahu adalah nasib buruk yang berturut-turut menimpanya. Warsiah berpikir dan memikirkan apa yang sudah terjadi, pikirannya menjadi kacau. Di masa Jepang kepalanya penuh dengan perkataan Asia Timur raya, kemenangan akbar, musuh hancur, dan sebagainya. Semuanya itu hanya Masri tempat ia bertanya, tapi begitu ia mendengar tentang kemerdekaan tanah air pada saat itu, Masri memutuskan harapan Warsiah menimbulkan pertanyaan ke mana dan mengapa? Kemudian rumahnya dibakar orang. Dalam pikirannya mengapa orang seganas itu. Pada akhirnya mengganggu otak waras Warsiah. Sejak saat itulah Warsiah menjadi warsiah bermata liar dan berkelana sepanjang jalan.




Sumber: Mukhtar, Annasiyah. 1998. Petunjuk Bahasa Indonesia. Malang: IKIP Malang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar